[SALAH] “Atau ini bukti kecintaannya terhadap NKRI harga mati?”

“Aborsi aman” berhubungan dengan kondisi medis, misalnya korban perkosaan, bukan tentang klaim-klaim pelintiran yang dituliskan di narasi post-post SUMBER. Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.

======

KATEGORI

Konten yang Salah.

======

SUMBER

(1) http://bit.ly/2EqIPlC http://archive.today/5j9I8, post ke grup “Fans Club Rocky Gerung” (facebook.com/groups/524826867940020) oleh akun “Bung Karyo” (facebook.com/ade.sona.75), sudah dibagikan 45 kali per tangkapan layar dibuat.

——

(2) http://bit.ly/2EI3OSg http://archive.today/aEwEZ, post oleh akun “Winiati Syah” (facebook.com/winiatisyah.syah), sudah dibagikan 2.268 kali per tangkapan layar dibuat.

======

NARASI

(1) “Kabar gembira nih buat para sobat zina dan feminist laknat..”

——

(2) “LGBT sudah dibolehkan atau dilegalkan, lalu aborsi pun sudah dilayani oleh pemerintah. Apa memang tujuan penguasa ini ingin menghancurkan negara ini? Atau ini bukti kecintaannya terhadap NKRI harga mati?

Dilegalkannya aborsi maka tentu tingkat perzinahaan pun akan semakin meningkat, krn anak yg diluar pernikahan yg tdk diharapkan kehadirannya dapat dibunuh secara sah krn UU sudah melindunginya.

Negara ini mayoritas muslim, bahkan mayoritas muslim pun paham betul bahwa zina adalah dosa besar, lalu setelah melakukan zina maka anaknya pun bisa dibunuh dgn aborsi, kebayang berapa besar dosa yg harus ditanggung bagi si pelaku, naudzu billahi min dzalik.

Selain dari si pelaku ada juga yg harus menanggung dosa besar ini, sekalipun tdk melakukannya, yah tentu saja penguasa yg juga harus memikul dosa ini. Krn penguasalah yg mengizinkan bahkan memfasilitasi kemaksiatan dgn hukum2 yg diberlakukannya.

Tiadalah kata yg bisa disampaikan lagi, kecuali #HaramMemilihPemimpinDzalim dan bersegeralah #ShutDownJokowi untuk #GantiRezim dan #GantiSistem.”

======

PENJELASAN

(1) http://bit.ly/2rhTadC / http://bit.ly/2MxVN7S, First Draft News: “Konten yang Salah

Ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah”.

  • Post-post SUMBER membagikan tangkapan layar dari berita Republika di http://bit.ly/2IXkSb8, judul artikel: “Pemerintah Siapkan Layanan Aborsi Aman yang Sesuai Aturan”, salinan artikel selengkapnya di (1) bagian REFERENSI. Beberapa bagian tampilan asli artikel dihilangkan, sasarannya adalah mereka yang hanya membaca judul saja.
  • Post-post SUMBER menambahkan narasi pelintiran untuk membangun premis yang salah yang tidak sesuai dengan konteks asli dari artikel yang diambil tangkapan layar.

——

(2) Artikel lain yang berhubungan:

  • REPUBLIKA(dot)CO(dot)ID: “Rencana Layanan Aborsi Aman Menurut Pakar Islam”, artikel kedua dari Republika, selengkapnya di (2) bagian REFERENSI.
  • ANTARA News: “Pemerintah siapkan layanan aborsi aman yang sesuai aturan”, sumber dari artikel pertama, selengkapnya di (3) bagian REFERENSI.
  • tirto(dot)id: “Sangat Penting Mendapatkan Layanan Aborsi Aman”, selengkapnya di (4) bagian REFERENSI.

——

(3) Mengenai klaim pelintiran “LGBT sudah dibolehkan atau dilegalkan”, justru yang masih dibahas adalah mengenai LARANGAN dan PIDANA, bukan dilegalkan seperti klaim pelintiran oleh post SUMBER. Dibahas sebelumnya di:

======

REFERENSI

(1) http://bit.ly/2IXkSb8 REPUBLIKA(dot)CO(dot)ID: “Pemerintah Siapkan Layanan Aborsi Aman yang Sesuai Aturan

Rabu 20 Feb 2019 00:05 WIB
Red: Nidia Zuraya

(foto)
Aborsi(ilustrasi)

Praktik aborsi harus dilakukan hati-hati, terutama untuk kehamilan akibat perkosaan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan pemerintah tengah mempersiapkan layanan aborsi aman. Layanan aborsi yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

“Perlu proses karena permasalahan tidak sederhana. Cakupan Indonesia juga sangat luas, tidak hanya Jakarta,” kata Kirana saat dihubungi di Jakarta, Selasa (19/2).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya melarang praktik aborsi. Namun, larangan aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur tentang usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi. Menurut Pasal 31 Peraturan tersebut, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

“Kami sedang menyiapkan peraturan yang lebih operasional. Untuk beberapa rumah sakit, terutama rumah sakit-rumah sakit pendidikan, sudah ada tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, termasuk layanan konseling oleh psikolog dan psikiater,” jelasnya.

Di luar rumah sakit-rumah sakit pendidikan tersebut, Kirana mengatakan praktik aborsi harus dilakukan secara hati-hati, terutama untuk kehamilan akibat perkosaan. Penyelenggaraan pelayanan aborsi diatur lebih detail dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

“Tim harus dilatih. Juga perlu koordinasi dengan kepolisian untuk kasus perkosaan,” ujarnya.

Untuk menyediakan layanan aborsi aman yang dikecualikan oleh undang-undang, Kirana mengatakan sedang mempersiapkan tim fasilitator dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Tenaga kesehatan yang boleh melakukan aborsi aman harus terlatih dan tersertifikasi. Hingga saat ini, mekanisme pelatihan bagi tenaga medis masih dalam pembahasan.

Sumber : Antara”.

——

(2) http://bit.ly/2EKoU2p REPUBLIKA(dot)CO(dot)ID: “Rencana Layanan Aborsi Aman Menurut Pakar Islam

Jumat 22 Feb 2019 05:00 WIB
Red: Nashih Nashrullah

(foto)
Salah satu ruangan pada sebuah klinik aborsi di Jalan Cimandiri no. 7, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/2). (Republika/Yasin Habibi)

Jumhur ulama atau umumnya ulama tidak memperbolehkan aborsi dilakukan.

REPUBLIKA.CO.ID, PALU— Rencana pemerintah mempersiapkan layanan aborsi aman yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan mendapat sorotan akademisi.

Guru besar pemikiran Islam modern IAIN Palu, Prof Zainal Abidin, mengatakan secara prinsip, Islam tidak menganjurkan aborsi dilakukan. Bahkan jumhur ulama atau umumnya ulama tidak memperbolehkan aborsi dilakukan.

“Secara prinsip aborsi tidak boleh dilakukan, hukumnya haram,” kata Ketua MUI Kota Palu ini di Palu, Kamis (21/2).

Menurut Zainal, pemerintah menyiapkan aborsi yang aman dimaksudkan sesuai dengan ilmu medis. Tidak dikaitkan dengan agama.

Ia menilai, karena banyak yang melakukan aborsi tetapi berisiko bagi ibu yang hamil, hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah mempersiapkan layanan aborsi aman.

“Aborsi yang tidak aman kan bahkan bisa menghilangkan nyawa si ibu. Karena tidak dilakukan tidak dengan ilmu dan ketentuan yang berlaku di bidang kesehatan/kedokteran atau ilmu medis, karena itu pemerintah menggagas layanan aborsi aman,” kata dia.

Namun demikian, Ketua Dewan Pakar Pengurus Besar Alkhairaat itu mengatakan aborsi dapat dilakukan bila didasari dengan alasan medis yang kuat untuk dilakukan. Di antaranya, bila ada masalah dengan kehamilan, sehingga bila kehamilan dibiarkan tetap lanjut maka akan membahayakan ibu-nya.

“Karena ada faktor yang membahayakan, atau ada faktor darurat, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan medis terdapat masalah, yang masalah itu tidak hanya berdampak pada kehamilan tetapi juga kepada ibu-nya, maka itu boleh dilakukan,” kata dia.

Dia menyebut, selain ada problem pada kandungan, yaitu bila kandungan membahayakan ibu yang mengandung maka dapat dilakukan aborsi.

Zainal menegaskan bila tidak ada alasan yang kuat, maka tidak boleh dilakukan aborsi, karena tidak boleh menghalangi kehidupan.

Menurut Zainal, para filsuf berpendapat definisi hidup yaitu bertemunya jasad dan nafas, dan itu terjadi saat bertemunya sperma dan ovum.

Dengan bertemunya sperma dan ovum, maka terjadi kehamilan. Dengan demikian terjadi kehidupan, sehingga abortus atau aborsi tidak boleh dilakukan karena membunuh manusia.

“Sehinga demikian abortus tidak boleh diakukan karena membunuh manusia,” kata dia.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari, mengatakan pemerintah tengah mempersiapkan layanan aborsi aman yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan.

“Perlu proses karena permasalahan tidak sederhana. Cakupan Indonesia juga sangat luas, tidak hanya Jakarta,” kata Kirana

Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya melarang praktik aborsi. Namun, larangan aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur tentang usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi.

Menurut Pasal 31 Peraturan tersebut, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Penyelenggaraan pelayanan aborsi diatur lebih detail dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.”

(3) http://bit.ly/2Vx7bAN ANTARA News: “Pemerintah siapkan layanan aborsi aman yang sesuai aturan

Selasa, 19 Februari 2019 15:45 WIB

(foto)
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari dan Direktur Kesehatan Keluarga Eni Gustina. (ANTARA/Dewanto Samodro)

“Perlu proses karena permasalahan tidak sederhana”

Jakarta (ANTARA News) – Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan pemerintah tengah mempersiapkan layanan aborsi aman yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

“Perlu proses karena permasalahan tidak sederhana. Cakupan Indonesia juga sangat luas, tidak hanya Jakarta,” kata Kirana saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya melarang praktik aborsi. Namun, larangan aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur tentang usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi.

Menurut Pasal 31 Peraturan tersebut, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

“Kami sedang menyiapkan peraturan yang lebih operasional. Untuk beberapa rumah sakit, terutama rumah sakit-rumah sakit pendidikan, sudah ada tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, termasuk layanan konseling oleh psikolog dan psikiater,” jelasnya.

Di luar rumah sakit-rumah sakit pendidikan tersebut, Kirana mengatakan praktik aborsi harus dilakukan secara hati-hati, terutama untuk kehamilan akibat perkosaan.

Penyelenggaraan pelayanan aborsi diatur lebih detail dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

“Tim harus dilatih. Juga perlu koordinasi dengan kepolisian untuk kasus perkosaan,” ujarnya.

Untuk menyediakan layanan aborsi aman yang dikecualikan oleh undang-undang, Kirana mengatakan sedang mempersiapkan tim fasilitator dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.

Tenaga kesehatan yang boleh melakukan aborsi aman harus terlatih dan tersertifikasi. Hingga saat ini, mekanisme pelatihan bagi tenaga medis masih dalam pembahasan.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Ganet Dirgantara
COPYRIGHT © ANTARA 2019″.

——

(4) http://bit.ly/2IXpAWm tirto(dot)id: “Sangat Penting Mendapatkan Layanan Aborsi Aman

(foto)
Ilustrasi layanan aborsi aman di Indonesia masih terhalang pendapat agama dan politik. tirto.id/Nadya

Oleh: Aditya Widya Putri – 2 Maret 2019
Dibaca Normal 5 menit

Mayoritas yang melakukan aborsi aman ke PKBI adalah perempuan yang menikah.

tirto.id – Cerita Satu

Ratna (nama alias), 19 tahun, Yogyakarta.

Suara di ujung telepon terdengar lembut dan sedikit menenangkan kegelisahanku selepas menerima sebuah paket berisi obat peluruh kandungan dan buklet kehamilan, pilihan adopsi anak, dan kondom.

Si pemilik suara memastikan sekali lagi tentang kesiapanku melakukan aborsi mandiri. Ia menanyakan keberadaan Mars, nama samaran temanku, yang akan mendampingi proses aborsi.

“Perhatikan setiap gejala yang mungkin terjadi pada temanmu sesudah mengonsumsi pil,” aku mendengar perintahnya kepada Mars dari suara telepon yang dibesarkan.

Mars mengangguk. Kami memulai prosedur dengan bimbingannya. Dua obat ditelan, dua lagi, dimasukkan lewat vagina.

Sambil menunggu reaksi obat, kami berdua mengobrol, membicarakan risiko terburuk yang mungkin terjadi dari tindakan kali ini. Kami diminta pergi ke rumah sakit terdekat, kalau-kalau terjadi pendarahan hebat. Ciri-cirinya terjadi sampai lebih dari 2-3 jam, dan setiap jam bisa menghabiskan 2-3 pembalut sekaligus. Itu artinya abortus tidak berjalan sempurna.

“Katanya tidak ada tes yang bisa mendiagnosis aktivitas percobaan aborsi. Jadi cukup bilang keguguran spontan,” kataku pada Mars.

Sekitar seminggu lalu, aku berbicara dengan si pemilik suara di ujung telepon soal kehamilanku yang tak bisa diteruskan karena aku harus sekolah dan meneruskan kuliah. Pacarku tak tahu aku hamil dan berniat menggugurkan kehamilan. Aku belum siap memiliki anak.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluargaku yang konservatif. Bisa-bisa mereka memintaku menikah, kuliah jadi terbengkalai, dan cita-citaku menjadi perawat harus tertunda karena mengurus anak.

Aku mendapat nomornya dari sebuah website yang menerima konseling kehamilan tidak diinginkan. Setelah mengisi formulir secara online, ia menghubungiku sebagai konselor, mewawancaraiku singkat, dan menawarkan pilihan tentang kehamilanku. Ia juga meminta hasil USG untuk menentukan usia kehamilan secara akurat.

Semua prosedur kami lakukan tanpa perlu bertatap muka. Obat dikirim setelah aku mengirim sejumlah uang ke rekening yang ia berikan. Rahasiaku terjamin.

Cerita Dua

Gemma (nama alias), 20-an tahun, Singapura.

Perempuan ini bercerita tentang pengalamannya melakukan aborsi dua tahun lalu kepada saya lewat sambungan telepon. Aborsi di tahun 2016 bukan pengalaman pertamanya. Sebelum itu, ia sudah pernah melakukan prosedur yang sama di New York, Amerika Serikat.

Tapi hamil tak diinginkan yang kedua lebih membuatnya bingung karena Gemma sudah pulang ke Indonesia. Ia tahu sulit menemukan layanan aborsi aman di negara ini. Apalagi hukum aborsi di Indonesia hanya legal untuk kasus gawat darurat medis dan korban perkosaan.

Pikirannya buntu karena tak tahu harus mengadu kepada siapa, sampai akhirnya seorang teman mengenalkannya ke Dewi Larasati dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang memelopori gerakan Keluarga Berencana di Indonesia dan termasuk penyedia layanan aborsi aman.

Dewi memastikan usia kehamilannya sudah masuk minggu keenam. Manajer Program PKBI itu juga membantu memberikan konsultasi gratis, menanyakan kembali kesiapan Gemma, hingga akhirnya merujuk akses ke tempat-tempat yang menyediakan layanan aborsi aman.

“In case, gue emang enggak punya suami dan karenanya, prasyarat tindakan di PKBI harus pakai surat izin orangtua,” saya menyimak kisahnya.

Kendala selanjutnya, layanan aborsi aman PKBI yang paling dekat dari Jakarta ada di Yogya atau Bali. Banyak pertimbangan yang akhirnya ia pikirkan, dari segi keamanan, standar pelayanan, waktu, hingga ongkos transportasi dan akomodasi menuju kedua tempat tersebut.

“Aku cerita sama Bu Dewi kalau mau vacation dalam waktu dekat ke Thailand. Akhirnya, dia me-refer ke koneksinya di sana. Very thankful to her, sangat baik dia.”

Cerita Tiga

Dikisahkan kembali oleh dr. Suryono Slamet Iman Santoso, Sp.OG, 17 Februari 2019.

“Saya sudah lupa tahunnya, tapi ini kejadian membekas sekali, bikin saya mempertaruhkan jabatan, dan hampir membuat nyawa orang melayang,” Suryo, mantan Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), membuka kisahnya.

Di suatu hari, saat melakukan praktik rutin, seorang pasien muda datang meminta tindakan aborsi, tanpa ditemani siapa pun. Pasangannya kabur, dan ia tak mau kehamilannya diketahui keluarga.

Berkali-kali ia datang, berkali-kali itu pula saya menolaknya. Tapi, perempuan itu pantang menyerah, terus-menerus datang, bersedia membayar berapapun. Tapi saya tetap menolak, dengan alasan, tak ada penjamin baginya.

Layanan aborsi aman selalu harus didahului oleh konseling dan ditemani pendamping. Prosedur itu berguna untuk menjamin keselamatan semua pihak, baik pasien maupun dokter apabila terjadi masalah di kemudian hari, kata saya.

Singkat cerita, perempuan itu tak lagi-lagi muncul ke tempat praktik saya. Tiba-tiba, suatu saat, ia datang tertatih, berjalan sambil bertumpu pada tembok. Saya panik bukan kepalang. Suhu tubuhnya tinggi. Hasil pemeriksaan menunjukkan infeksi bakteri telah masuk ke aliran darah. Ia terkena sepsis, kondisi gawat darurat pascaaborsi.

“Sekarang dokter senang, kan, lihat saya begini!”

Ucapannya menohok saya. Hati kecil saya terpukul. Saya merasa amat bersalah.

“Aduh mati, nih, mati…” batin saya. Saya mempertaruhkan karier saya. Saya nekat merawatnya, tanpa memungut bayaran sepeser pun.

Ia menyelesaikan prosedur aborsi yang belum tuntas dan untung saja nyawanya terselamatkan. Selepas sembuh, saya memberi rujukan kepada dia agar bisa bekerja menjadi sekretaris rekan saya. Kini ia telah menikah dengan seorang wakil direktur sebuah rumah sakit di Jakarta dan memiliki seorang anak.

(infografik)

Mencari Layanan Aborsi Aman

Cerita-cerita di atas adalah segelintir potret dari hasil kerja para penganjur pro-choice menyediakan layanan aborsi aman. Berkat usaha mereka, perempuan-perempuan itu tak harus menerima beban masa depan karena menanggung kehamilan yang tidak diinginkan.

Mereka bisa meneruskan kuliah, kembali berkarier, dan tentu saja bergaul tanpa takut distigma, dicap perempuan nakal, pendosa, atau menjadi contoh buruk dari apa yang sering dituduhkan sebagai “pergaulan bebas”.

Jika laki-laki bisa pergi tanpa tanggung jawab, tak seharusnya beban kehamilan harus dipikul sendiri oleh perempuan.

“Banyak juga yang program KB-nya gagal, ekonominya tidak mampu. Ini harus kita tolong. Kalau enggak, kasihan perempuannya,” Dewi Larasati berkata mengenai kerja-kerja yang dilakukan PKBI.

PKBI adalah organisasi yang fokus bergerak dalam isu kesejahteraan keluarga. LSM ini berdiri sejak 23 Desember 1957 dan salah satu penyedia konseling hamil tak dikehendaki, termasuk layanan aborsi aman.

Meski tak semua klien yang datang ke PKBI mengeluhkan hamil tanpa diinginkan, ada sebagian kecil kasus mengenai kekerasan dalam hubungan. Dalam penanganannya, mereka tidak langsung dirujuk melakukan aborsi tapi harus lebih dulu melalui konseling.

Saat itulah konselor menilai kelayakan klien. Diberi waktu memantapkan niat selama sehari semalam, baru setelahnya kembali menemui konselor untuk membuat keputusan.

PKBI hanya menerima layanan aborsi aman dengan maksimal usia kehamilan mencapai 8 minggu. Lebih dari itu, klien dirujuk ke klinik lain atau diminta meneruskan kehamilan.

“Dari konseling langsung kami rujuk ke dokter. Setelah itu, sambil dia istirahat, kami kasih konseling pasca-tindakan. Prosesnya sehari sampai seminggu,” ujar Dewi.

Seminggu setelahnya, klien diharuskan datang kembali untuk pemeriksaan ulang dan memastikan tak ada sisa jaringan janin.

Data PKBI pada 2016 menyebut ada 4.857 perempuan hamil tak diinginkan yang mengakses layanan aborsi aman.

Dari total klien pengakses layanan hamil tanpa dikehendaki, 76,1% adalah yang terikat status pernikahan, sementara hanya 23,9% klien yang tidak atau belum menikah.

Mereka mengakses layanan aborsi aman lantaran telah cukup punya anak (44,9%), memiliki anak yang masih kecil (12,5%), dan tidak/belum menikah (11,1%).

Sisanya menyangkut alasan kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan (2,2%), korban perkosaan (0,5%), pasangan tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan (2,6%), dan klien gagal KB (0,5%).

Data PKBI itu menunjukkan perempuan sudah menikah yang paling banyak mengakses layanan aborsi aman. Ini menjungkirkan asumsi populer masyarakat bahwa yang mengakses layanan aborsi adalah anak muda tanpa ikatan pernikahan.

Perlu digarisbawahi: untuk mengakses layanan aborsi aman di PKBI, klien harus membawa surat persetujuan suami atau orangtua.

Artinya, mereka yang sudah menikah akan lebih mudah mengakses layanan karena cukup melampirkan persetujuan suami. Sebaliknya pada klien yang belum/tidak menikah, mereka cenderung malu atau takut meminta persetujuan orangtua.

Kondisi ini sempat terjadi pada kasus Gemma, sebagaimana cerita di atas. Ia akhirnya melakukan aborsi aman di Thailand karena salah satu pertimbangannya tak perlu melampirkan surat persetujuan orangtua. Prasyarat itu bisa saja menjadi faktor yang mempengaruhi hasil laporan dari golongan pengakses hamil tak dikehendaki.

“Jadi tahapan awalnya ngobrol sama mereka sendiri, baru ke keluarga. Klien tetap tak boleh mendapat intervensi oleh siapa pun,” Dewi menjelaskan mekanisme konseling layanan aborsi aman (hamil tak diinginkan).

Pelayanan aborsi seperti yang dilakukan PKBI telah mengacu pada standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Maka, sangat kecil risiko komplikasi parah atau kematian.

WHO dan Guttmacher Institute pada 2017 menerbitkan laporan yang menggambarkan kondisi aborsi di seluruh dunia antara 2010-2014. Diperkirakan ada 55,7 juta aborsi setiap tahun. Proporsi antara akses aborsi aman dan tak aman hampir seimbang.

Dari jumlah itu, 30,6 juta adalah praktik aborsi aman, sementara 25,1 juta aborsi masuk indikasi tidak aman dengan persentase 17,1 juta praktik kurang aman dan 8 juta paling tidak aman.

Dari total jumlah aborsi tak aman itu, 24,3 juta (97%) terjadi di negara berkembang seperti Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Semakin ketat aturan aborsi suatu negara, angka aborsi tak aman semakin tinggi.

Secara global, ada sekitar 67,9 ribu perempuan meninggal setiap tahun karena praktik aborsi tidak aman, mengambil porsi 13 persen angka kematian ibu di dunia. Selain itu, ada 5,3 juta perempuan menderita cacat sementara atau permanen akibat aborsi tak aman, suatu kondisi miris yang terjadi juga di Indonesia.

Jika menganut standar WHO, ada 43,7% klien PKBI telah melakukan upaya aborsi kurang aman dan tidak aman sebelum datang ke klinik: meminum obat-obatan atau jamu (39,1%); tindakan dari staf medis (3,1%); datang ke dukun pijat (0,2%); dan tindakan lain seperti meloncat-loncat dan minuman alkohol (1,4%).

Baca juga artikel terkait ABORSI atau tulisan menarik lainnya Aditya Widya Putri
(tirto.id – Kesehatan)

Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam

Tersedianya layanan aborsi aman akan menurunkan jumlah angka kematian ibu di wilayah tersebut”.

======

Sumber: https://web.facebook.com/groups/fafhh/permalink/848074948858375/