[SALAH] “New Zealand Herald KECAM Jokowi yang Dianggap Lecehkan Pemerintah dan Rakyat Selandia Baru”

“… apa yang dia tulis tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya,” ujar Tantowi dalam keterangan tertulisnya (selengkapnya di poin (1) bagian REFERENSI).

======

KATEGORI
Disinformasi.

======

PENJELASAN

“Tantowi menjelaskan, ‎kejadian yang benar adalah keputusan untuk tidak membuat keterangan pers merupakan usulan dari Kementrian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru yang kemudian diadopsi menjadi keputusan bersama. Untuk konsumsi publik, kata Tantowi, hasil-hasil pertemuan akan disarikan dalam pernyataan bersama (joint statement) yang akan dimuat di website resmi kedua negara.”

======

SUMBER

(1) https://goo.gl/YXg9Py, sudah dibagikan 229 kali per tangkapan layar dibuat.
(2) https://goo.gl/8xz9GN, laman yang dikutip oleh sumber di poin (1).

======

NARASI

“LAGI2 MEMPERMALUKAN…..AAACH SUDAHLAH..😆😆😆 …

Artikel selengkapnya; di Portal islam”

(isi narasi lainnya adalah salinan sebagian isi dari laman yang dijadikan sumber, selengkapnya di poin (2) bagian REFERENSI).

======

REFERENSI

(1) https://goo.gl/KX1aEv, “Tantowi Yahya Minta Kolumnis Audrey Young Klarifikasi Tuduhannya ke Jokowi

Senin, 26 Maret 2018 11:58 WIB

(foto)
Tribunnews.com/Imanuel Nicolas Manafe
Presiden Joko Widodo saat berbincang dengan puluhan Pelajar Indonesia di Dermaga Waterfront Wellington, Selandia Baru, Senin (19/3/2018).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – ‎‎Pemerintah Indonesia, melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Selandia Baru meminta kolumnis Audrey Young, mengklarifikasi tulisannya yang menuduh Presiden Joko Widodo enggan berjumpa dengan awak media setempat.

Dubes RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya menjelaskan, ‎dua hari ini banyak komentar atas tulisan kolumnis, Audrey Young yang berjudul “Visiting leaders show disrespect by failing to share platform with Jacinda Ardern” yang dimuat di harian NZ Herald pada 25 Maret lalu.

“Kami sudah melayangkan protes keras kepada si penulis dan mendesaknya untuk membuat klarifikasi karena apa yang dia tulis tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya,” ujar Tantowi dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (26/3/2018).

Tantowi mengatakan, ‎lawatan Presiden Jokowi ke Selandia Baru waktu itu adalah lawatan yang sukses dan produktif, dimana terakhir Presiden Indonesia berkunjung sudah 13 tahun lalu dan hal ini merupakan buah dari persiapan matang yang dilakukan oleh tim kedua negara jauh-jauh hari sebelumnya.

Kunjungan kenegaraan yang dilaksakan tanggal 18 dan 19 Maret 2018 adalah dalam rangka merayakan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Selandia Baru.

Dimana, pemerintah Indonesia sangat puas dengan pelayanan, penyambutan dan perhatian yang diberikan oleh Pemerintah Selandia Baru.

“Kami sangat kecewa dengan pemberitaan yang ditulis oleh Audrey Young yang dibuat tanpa dukungan fakta dan konfirmasi baik dari pemerintah Selandia Baru maupun KBRI Wellington selaku perwakilan Pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia, kata Tantowi, ‎kecewa tulisan Audrey Young yang dibuat berdasarkan asumsi si penulis dan telah menciptakan persepsi yang salah tentang Presiden Jokowi.

Dituliskan bahwa Presiden Jokowi menolak untuk berjumpa dengan pers dan menolak untuk memberikan penjelasan setelah pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Jacinda Ardern di Gedung Parlemen, 19 Maret 2018.

“Sikap ini kemudian diterjemahkan pula sebagai sikap tidak hormat Presiden. Satu pendapat yang sangat pretensius,” ucapnya.

Tantowi menjelaskan, ‎kejadian yang benar adalah keputusan untuk tidak membuat keterangan pers merupakan usulan dari Kementrian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru yang kemudian diadopsi menjadi keputusan bersama.

Untuk konsumsi publik, kata Tantowi, hasil-hasil pertemuan akan disarikan dalam pernyataan bersama (joint statement) yang akan dimuat di website resmi kedua negara.

“Sebagai tamu, kami menghargai posisi yang diambil oleh tuan rumah. Kami mendukung sepenuhnya karena tidak ada yang salah dengan sikap tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut Tantowi mengatakan, tulisan bahwa Presiden Joko Widodo menolak untuk berkomunikasi dengan media adalah pendapat pribadi Audrey Young yang tidak didukung oleh bukti dan fakta.

“Presiden Jokowi adalah orang biasa pertama yang menjadi Presiden Indonesia. Sebagai Presiden dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Joko Widodo menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan indepensi Pers sebagai salah satu pilar demokrasi,” paparnya.

Diketahui, ‎Indonesia dan Selandia Baru tahun ini merayakan 60 tahun hubungan diplomatik. Dalam kurun waktu tersebut, banyak yang sudah dicapai oleh kedua negara dari mulai perdagangan, investasi, pendidikan, pertanian, pariwisata, penanganan bencana, politik sampai dengan kerjasama di bidang pertahanan dan kontra terorisme.

Kedua negara sepakat untuk meningkatkan derajat hubungan dari Strategic ke Comprehensive. Kedua negara juga berkomitmen untuk meningkatkan perdagangan dari NZ$ 1.6 Milyard ke NZ$ 4 Milyard sebelum 2024.

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Fajar Anjungroso”.

——

(2) https://goo.gl/8xz9GN, “Senin, 26 Maret 2018 Berita Internasional, JOKOWI

GEGER! New Zealand Herald KECAM Jokowi yang Dianggap Lecehkan Pemerintah dan Rakyat Selandia Baru!

(foto tangkapan layar)

[PORTAL-ISLAM.ID] Kunjungan kenegaraan Jokowi ke Selandia Baru ternyata menyisakan kekecewaan bagi pemerintah dan warga Selandia Baru.

Hal ini terungkap dalam sebuah artikel berita New Zealand Herald berjudul “Audrey Young: Visiting leaders show disrespect by failing to share platform with Jacinda Ardern” yang ditulis Audrey Young, seorang editor politik New Zealand Herald, Ahad 25 Maret 2018.

Dalam kutipannya, Young dengan tegas menuliskan:

“It was shameful that on a state visit he failed to present himself in some manner to the public of New Zealand”.

Jokowi telah gagal menempatkan diri sesuai adat dan kepatutan di hadapan publik Selandia Baru.

Kecaman ini ternyata terkait dengan penolakan Jokowi untuk melakukan konferensi pers resmi dengan Perdana Menteri Ardern.

Padahal sebelumnya, dalam persiapan kunjungan kenegaran ini, Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru telah mengajukan permohonan konferensi pers bersama antara kedua pemimpin negara, namun permintaan ini ditolak Jokowi.

Penolakan Jokowi ini bisa dianggap sebagai sebuah pelecehan terhadap pemerintah Selandia Baru.

“Two leaders fronting together and talking about the relationship is an implicit display of respect for the other leader and country. The opposite applies. To decline to do so is implicitly disrespectful to Ardern and New Zealand,” tulis Young.

Young menambahkan, memang, mengadakan konferensi pers bersama berisiko memunculkan beberapa pertanyaan sensitif kepada Jokowi, misalnya tentang isu Papua Barat.

Lebih jauh Young menuliskan, jika seorang pemimpin negara tak memiliki kemampuan untuk menghadapi konferensi pers yang mungkin memunculkan pertanyaan sensitif, mungkin sebaiknya mereka tak terjun ke dunia politik.

“But if they don’t have the skill to handle those, maybe they should not be in politics,” tandas Young.

Berikut isi artikel selengkapnya;

It was a shame that Barack Obama refused to allow any meaningful media opportunities on his trip to New Zealand but he had an excuse given that it was a private trip.

Indonesia President Joko Widodo had no such excuse. It was shameful that on a state visit he failed to present himself in some manner to the public of New Zealand.

When preparing for the visit, the Ministry of Foreign Affairs and Trade (Mfat) raised the issue of holding a joint press conference alongside Prime Minister Jacinda Ardern, but the Indonesians declined.

Ardern will be too diplomatic to describe it as an insult, but it is one.

When New Zealand leaders visit other countries, they are expected to behave according to the protocols and values of that country. The same should apply for visitors to New Zealand.

Two leaders fronting together and talking about the relationship is an implicit display of respect for the other leader and country.

The opposite applies. To decline to do so is implicitly disrespectful to Ardern and New Zealand.

The Government needs to send a swift message to Mfat that such events for future VIP visits must be raised not by invitation but in the context of an expectation.

It need not be
expressed in terms of compulsion but an obligation except for exceptional circumstances.

If Ardern does not make this clear now, Mfat will continue to present it as a take-it-or-leave-it option for the visiting country to dictate.

The Widodo visit followed a high-level visit the previous week from Vietnamese Prime Minister Nguyen Xuan Phuc, again during which no press conference was organised.
These two examples should not set a pattern for the rest of her premiership.

Holding a joint public press event was an expectation for VIPs under both Helen Clark and John Key’s leadership.

In 2001, when Clark was hosting the first Indonesia President to visit New Zealand in 29 years, Abdurrahman Wahid, he surprised everyone at their press conference by talking about the problems with corruption in his country’s justice system, including the judiciary.

It was in the context of questions about justice for the killers of Private Leonard Manning, who was killed on patrol near the West Timor border.

Setting an expectation that VIPs front will definitely leave them open to questions about potentially sensitive areas, West Papua in the case of Widodo

But if they don’t have the skill to handle those, maybe they should not be in politics.

It is not New Zealand or Mfat’s job to protect VIPs from sensitive issues.

Link: www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12019850

——-
Penolakan Jokowi ini pun ditanggapi beragam oleh warganet

@VeronicaKoman

Jokowi dianggap melecehkan Selandia Baru ketika menolak konpers bersama saat berada di sana, demi menghindari bicara isu Papua di publik

Jokowi insulted New Zealand by refusing to hold a joint press conference in order to avoid talking about West Papua http://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12019850

7:51 PM – Mar 25, 2018

@GalihJaya7

Replying to @rockygerung
Jokowi disambut wni selandia rame nya minta ampun cebong, bendera opm berkibar cebong tenggelam, tak menghadiri sesi wawancara cebong pun hilang, ini bong200

10:04 AM – Mar 26, 2018

@Bambang32498237

Replying to @rockygerung
Mungkin maksudnya nggak mau ngrepoti tuan rumah…
Soalnya si pak dhe tahu kalu orang NZ gak bisa bahasa indonesia…

10:03 AM – Mar 26, 2018

@deandry

Replying to @rockygerung
berkali-kali melakukan tindakan dan bersikap yg mempermalukan bangsa, kok masih ngarep nambah masa jabatannya… ? situ #waras ? #blegug

9:58 AM – Mar 26, 2018″.

——

(3) https://goo.gl/FvmdhG, @VeronicaKoman: “Jokowi dianggap melecehkan Selandia Baru ketika menolak konpers bersama saat berada di sana, demi menghindari bicara isu Papua di publik

Jokowi insulted New Zealand by refusing to hold a joint press conference in order to avoid talking about West Papua” (tautan ke http://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12019850).

——

(4) https://goo.gl/dSD64e, “Audrey Young: Visiting leaders show disrespect by failing to share platform with Jacinda Ardern

25 Mar, 2018 2:27pm

(video)
The former US President likened his Hawaiian roots to Maori and told Wahine Toa that he ‘felt right at home’ in NZ.

By: Audrey Young
Political editor, NZ Herald
audrey.young@nzherald.co.nz @audreyNZH

It was a shame that Barack Obama refused to allow any meaningful media opportunities on his trip to New Zealand but he had an excuse given that it was a private trip.

Indonesia President Joko Widodo had no such excuse. It was shameful that on a state visit he failed to present himself in some manner to the public of New Zealand.

When preparing for the visit, the Ministry of Foreign Affairs and Trade raised the issue of holding a joint press conference alongside Prime Minister Jacinda Ardern, but the Indonesians declined.

Ardern will be too diplomatic to describe it as an insult, but it is one.

When New Zealand leaders visit other countries, they are expected to behave according to the protocols and values of that country. The same should apply for visitors to New Zealand.

Two leaders fronting together and talking about the relationship is an implicit display of respect for the other leader and country.

The opposite applies. To decline to do so is implicitly disrespectful to Ardern and New Zealand.

The Government needs to send a swift message to Mfat that such events for future VIP visits must be raised not by invitation but in the context of an expectation.

It need not be expressed in terms of compulsion but an obligation except for exceptional circumstances.

If Ardern does not make this clear now, Mfat will continue to present it as a take-it-or-leave-it option for the visiting country to dictate.

The Widodo visit followed a high-level visit the previous week from Vietnamese Prime Minister Nguyen Xuan Phuc, again during which no press conference was organised.
These two examples should not set a pattern for the rest of her premiership.

Holding a joint public press event was an expectation for VIPs under both Helen Clark and John Key’s leadership.

In 2001, when Clark was hosting the first Indonesia President to visit New Zealand in 29 years, Abdurrahman Wahid, he surprised everyone at their press conference by talking about the problems with corruption in his country’s justice system, including the judiciary.

It was in the context of questions about justice for the killers of Private Leonard Manning, who was killed on patrol near the West Timor border.

Setting an expectation that VIPs front will definitely leave them open to questions about potentially sensitive areas, West Papua in the case of Widodo

But if they don’t have the skill to handle those, maybe they should not be in politics.

It is not New Zealand or Mfat’s job to protect VIPs from sensitive issues.”

======

CATATAN

Lokasi “London,Inggris” yang di sertakan di post tersebut mengarah ke https://goo.gl/BGBKUz. Hasil penelusuran Google Maps lokasi tersebut adalah di https://goo.gl/e8rjC4 (Jl. Sawah Luhur, Margaluyu, Kasemen, Kota Serang, Banten 42191), https://goo.gl/4RnxsV < 94.1 kilometer dari Jakarta.

Saya juga sebetulnya sedang tidak di Burj Khalifa (Dubai) ketika mempublikasikan post ini.

======

Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/620306548301884/