[BENAR] “Tolak Gugatan, Hakim Tegaskan Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya”

“Menurut pendapat majelis hakim, berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan, kebijakan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik karena bertujuan melindungi kepentingan umum, yakni masyarakat ekonomi lemah. Hal ini terkait pula dengan Keistimewaan DIY yang secara tegas memberikan kewenangan istimewa di bidang pertanahan serta menjaga kebudayaan khususnya keberadaan Kasultanan Ngayogyakarta dan juga menjaga keseimbangan pembangunan dalam rangka pengembangan perencanaan pembangunan di masa yang akan datang.”

KATEGORI
Klarifikasi.

======

SUMBER
(1) Pertanyaan dari salah satu anggota FAFHH.
(2) https://goo.gl/DRu3KT, Kompas.com: “Tolak Gugatan, Hakim Tegaskan Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya”.

======

KLARIFIKASI
“Tolak Gugatan, Hakim Tegaskan Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya
KONTRIBUTOR YOGYAKARTA, WIJAYA KUSUMA Kompas.com – 22/02/2018, 19:18 WIB

Pengadilan Negeri (PN) Kota Yogyakarta(KOMPAS.com / Wijaya Kusuma)

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan atas Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY.

Putusan ini dibacakan majelis hakim yang diketuai Cokro Hendro Mukti dengan hakim anggota Nuryanto dan Sri Harsiwi dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada Selasa (20/2/2018).

“Iya benar, hasil sidang kemarin seluruh permohonan penggugat ditolak,” ujar Sari Sudarmi dari bagian Humas PN Kota Yogyakarta saat ditemui, Kamis (22/2/2018).

Dalam persidangan, seluruh permohonan penggugat ditolak karena kebijakan yang dituangkan dalam Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975.

Menurut pendapat majelis hakim, berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan, kebijakan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik karena bertujuan melindungi kepentingan umum, yakni masyarakat ekonomi lemah.

Hal ini terkait pula dengan Keistimewaan DIY yang secara tegas memberikan kewenangan istimewa di bidang pertanahan serta menjaga kebudayaan khususnya keberadaan Kasultanan Ngayogyakarta dan juga menjaga keseimbangan pembangunan dalam rangka pengembangan perencanaan pembangunan di masa yang akan datang.

“Gugatannya tertanggal 7 September 2017. Didaftarkan di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta pada 7 September 2017,” ucapnya.

Sementara itu, Handoko, si penggugat, menyampaikan akan mengambil langkah banding yang akan diajukan 14 hari setelah putusan sidang kemarin.

“Saya akan mengajukan banding,” tuturnya saat dihubungi.

Gugatan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY diajukan oleh Handoko, warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY lantaran menjalankan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975.

“Saya menganggap pejabat yang menjalankan Surat Instruksi (Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975) itu melanggar hukum. Instruksi itu juga saya menilai mengandung diskriminasi,” ujarnya.

Dia mengatakan, dasar dari gugatan tersebut adalah karena Instruksi yang terbit pada 5 Maret 1975 tersebut melawan hukum karena melanggar Instruksi Presiden 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

Selain itu, menurut Handoko, kebijakan itu juga bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”.

“Saat ini saya sedang mempelajari dan menyusun alasan-alasan untuk pengajuan banding,” pungkasnya.

Penulis: Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma
Editor: Caroline Damanik”.

======

REFERENSI

https://goo.gl/iHR161: “PENGHIANAT MENGGUGAT RAJA JAWA

Handoko, adalah pengacara yg tinggal di jogya,cari makan di Yogyakarta, namun menggugat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dengan tudingan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Yogyakarta karena pemerintah DIY melarang warga keturunan Tionghoa memiliki tanah.

Wakil Kepala Derah DIY pada 5 Maret 1975. Dalam surat bernomor K.898/I/A/1975 itu pemerintah DIY mengatur proses pelepasan hak atas tanah bagi warga non pribumi.

“Kebijakan itu berlaku internal dan tak bisa berlaku luas (di luar pemerintah daerah),”

Handoko pria keturunan tionghoa dan bermarga HAN sekaligus menjadikan Kepala BPN DIY sebagai tergugat selain Gubernur DIY Dosen Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Ni’matul Huda, ahli tata negara yang diajukan Handoko dalam persidangan Kamis 4 Januari, mengatakan kepala daerah bukan pejabat yang berwenang menentukan kepemilikan tanah bagi warganegara.

“Itu bukan ranah dia,” katanya.

Sertifikasi tanah menjadi wewenang BPN. Di daerah, BPN Wilayah hanya tunduk pada BPN Pusat dan tak terikat pemerintah daerah. Hubungannya dengan pemerintah daerah sebatas koordinasi. Secara kelembagaan pun tak terikat dengan aturan kepala daerah.

Namun Handoko lupa bahwa jogya bukan seperti daerah lain,karna punya wewenang sendiri,Handoko pura2 buta akan sejarah bangsa,sebagai pendatang dia ingin merampas hak yg punya rumah ,

“Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi Silahkan lanjutkan pemerintahan di Jakarta,” ujar Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat menyerahkan cek sejumlah 6 juta gulden kepada Ir.Soekarno.

Ir. Soekarno, Bung Hatta dan jajaran para menteri yang saat itu ada di hadapannya pun menangis terharu. Mereka tak kuasa menahan air mata melihat kebesaran hati seorang raja yang merelakan seluruh materi kerajaannya untuk kepentingan republik. Sri Sultan HB IX memberikan sumbangan sekitar 6 juta gulden untuk kepentingan bangsa ini. Jika dikonversikan ke dalam nilai rupiah saat ini, jumlahnya sekitar Rp.44.994.972.216,-

Sumbangan ini diberikan Sri Sultan HB IX saat Indonesia tak punya biaya lagi untuk menjalankan roda pemerintahan. Biaya operasional untuk bidang kesehatan, pendidikan, militer, dan gaji pegawai-pegawai pemerintahan RI saat itu memang dibiayai oleh Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Memiliki sikap legawa, berbesar hati dalam kondisi seperti yang dihadapi oleh Sri Sultan HB IX saat itu tidaklah mudah. Beliau bisa mengesampingkan hal-hal lain yang seharusnya menjadi prioritas Kraton, demi berdirinya Republik Indonesia.

Sikap mengabdi kepada republik dengan sepenuh hati inilah yang hingga saat ini masih dikenang oleh pihak keluarga. Hingga beliau wafat, Sultan dan pihak Kraton tidak pernah meminta agar sumbangan itu dikembalikan.

Lantas,, dimana Indonesia manakala Sultan Yogya digugat para cukong demi mendapatkan sejengkal tanah di bumi Ngayogyakarta Hadiningrat … ??”, sudah dibagikan 24.055 kali ketika tangkapan layar dibuat.

======

Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/606296736369532/