[SALAH] “DAHSYATNYA FITNAH CORONA, ketakutan para elit global akan kebangkitan umat Islam”

Data menunjukkan bahwa 10 negara dengan kasus Covid-19 tertinggi saat ini adalah negara-negara yang populasi muslimnya minoritas. Selain itu, saat ini Amerika Serikat sedang berkonflik dengan WHO, di mana mereka telah menghentikan pendanaan sejak April 2020 dan mengumumkan akan keluar dari keanggotaan WHO.

Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI
============================================
Kategori : Konten yang Menyesatkan
============================================

Beredar narasi yang intinya mengklaim bahwa Covid-19 hanyalah fitnah yang digunakan untuk menghambat kebangkitan umat Islam. Salah satunya diunggah oleh akun Bee (fb.com/100032825676164). Narasi itu berjudul “Dahsyatnya Fitnah Corona”.

Tulisan tersebut berisi 12 poin. Dalam salah satu poin, disebutkan bahwa virus Corona jenis baru itu merupakan bentuk ketakutan para elite global akan kebangkitan umat Islam yang sudah di depan mata. Akun tersebut juga menulis klaim bahwa, dalam menangani Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikendalikan oleh Amerika Serikat dan Yahudi.

Selengkapnya di http://archive.ph/eUVNG (Arsip)

============================================

PENJELASAN

Berdasarkan hasil penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim bahwa Covid-19 hanyalah fitnah yang digunakan untuk menghambat kebangkitan umat Islam adalah klaim yang keliru.

Data menunjukkan bahwa 10 negara dengan kasus Covid-19 tertinggi saat ini adalah negara-negara yang populasi muslimnya minoritas. Selain itu, saat ini Amerika Serikat sedang berkonflik dengan WHO, di mana mereka telah menghentikan pendanaan sejak April 2020 dan mengumumkan akan keluar dari keanggotaan WHO.

Berikut penjelasan lengkapnya, seperti yang dilansir dari situs cekfakta.tempo.co;

Klaim 1: Covid-19 sifatnya self limited desease. Artinya, manusia bisa sembuh sendiri dengan antibodi yang dimilikinya. Bagi yang punya penyakit berat memang rentan, namun tidak selamanya membawa kematian.

Fakta:
Virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV2, hingga 16 Juli 2020, telah menginfeksi lebih dari 13 juta orang di seluruh dunia, dengan sekitar 586 ribu di antaranya meninggal dunia. Sedangkan di Indonesia, kasus positif Covid-19 telah mencapai 80.094 kasus dengan 3.797 kematian. Covid-19 menginfeksi semua umur, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua.
Dalam kasus Covid-19, tidak semua pasien bisa memulihkan dirinya sendiri dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Tingkat rawat inap pasien Covid-19 di AS pada Maret 2020 misalnya, mencapai 4,6 per 100 ribu populasi serta 89,3 persen pasien yang dirawat memiliki penyakit penyerta. Di Indonesia, tingkat hunian hunian rumah sakit yang diperuntukkan bagi pasien Covid-19 mencapai 60 persen.
Selain itu, bukan hanya mereka yang punya penyakit berat (penyakit penyerta) yang rentan terhadap Covid-19, melainkan juga anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, per 18 Mei 2020, setidaknya 3.324 anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan 129 anak berstatus PDP meninggal dunia, sementara jumlah anak yang positif Covid-19 mencapai 584 anak.
Dengan demikian, klaim pertama di atas tidak sepenuhnya benar.

=================

Klaim 2: Banyak tenaga medis yang meninggal karena kecapekan. Bukankah ini (kelelahan) juga yang disinyalir menjadi penyebab kematian 600 petugas KPPS saat Pilpres 2019?

Fakta:
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, hingga Juli 2020, sebanyak 61 dokter meninggal dunia karena Covid-19. Di Jawa Timur, angka kematian dokter dan tenaga medis akibat Covid-19 berada di atas 10 persen. IDI menjelaskan setidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan tingginya kasus kematian pada tenaga medis, yakni minimnya alat pelindung diri (APD) di fasilitas kesehatan; lemahnya skrining pasien, termasuk skrining untuk petugas; belum dibuatnya alur layanan yang berbeda untuk pasien Covid-19 dan non-Covid-19; lemahnya deteksi/isolasi/terapi kasus; adanya faktor risiko dan kerentanan seperti usia, penyakit, dan komorbid lainnya; adanya riwayat kontak dengan pasien Covid-19 maupun pasien umum yang tanpa gejala; terlambatnya tes dan lamanya hasil tes; serta terbatasnya jumlah fasilitas kesehatan dan rumah sakit rujukan Covid-19.

=================

Klaim 3: WHO adalah badan kesehatan di bawah PBB yang dikendalikan oleh AS dan dikuasai Yahudi Israel.

Fakta:
WHO didirikan pada 7 April 1948 dan menjadi organisasi independen di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). WHO berkantor pusat di Jenewa, Swiss, dan kini memiliki 150 negara anggota. AS merupakan salah satu anggota dan pendonor tetap WHO, tapi bukan satu-satunya. Pendonor WHO berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari negara anggota, organisasi internasional, sektor swasta, dan sumber lainnya. Pendonor utama WHO selain AS adalah PBB, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, Bill Gates Foundation, GAVI Alliance, National Philanthropic Trust Inggris, Bloomberg dan, Komisi Uni Eropa.
Namun, di tengah pandemi Covid-19, Presiden AS Donald Trump berkonflik dengan WHO yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan dengan Cina terkait pandemi Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, pada akhir 2019. Trump telah menghentikan pendanaan AS terhadap WHO sejak April 2020. Trump pun menyatakan bahwa AS akan keluar dari WHO pada 2021, mengakhiri keanggotaannya selama 70 tahun. Namun, AS harus melalui masa tenggang satu tahun sebelum resmi keluar dari WHO dan membayar seluruh iuran yang telah disepakati dalam resolusi bersama Kongres AS pada 1948. Saat ini, AS berutang lebih dari 200 juta dolar AS kepada WHO.
Dengan demikian, klaim bahwa keputusan WHO terkait pandemi Covid-19 dipengaruhi oleh AS tidak benar.

=================

Klaim 4: Covid-19 adalah bentuk ketakutan elite global akan kebangkitan umat Islam.

Fakta:
Tidak ada bukti bahwa virus Corona penyebab Covid-19 sengaja diciptakan, termasuk dengan tujuan untuk menghambat bangkitnya umat Islam. Menurut artikel Nature pada 17 Maret 2020, penelitian terhadap struktur genetik SARS-CoV-2 menunjukkan bahwa virus itu bukanlah manipulasi laboratorium. Para ilmuwan memiliki dua penjelasan tentang asal usul virus tersebut, yakni seleksi alam pada inang hewan atau seleksi alam pada manusia setelah virus melompat dari hewan.
Faktanya lainnya, sepuluh negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia adalah negara-negara yang populasi umat Islamnya lebih kecil ketimbang umat agama lain.
Selain itu, Covid-19 bukan satu-satunya pandemi mematikan. Jurnal Science mencatat setidaknya ada 20 epidemi dan pandemi mematikan dalam sejarah manusia sejak abad prasejarah hingga masa sekarang, seperti Zika (2015), Ebola (2014), dan flu burung (2009).
Dengan demikian, klaim bahwa virus penyebab Covid-19 sengaja diciptakan dengan tujuan menghambat bangkitnya umat Islam keliru.

=================

Klaim 5: Parlemen Italia telah membongkar data ribuan orang yang meninggal karena Covid-19 adalah fiktif.

Fakta:
Tidak ada pemberitaan yang menyebutkan informasi tersebut. Pada 24 April 2020, memang beredar klaim di media sosial yang mengutip pernyataan politikus Italia bahwa terdapat sekitar 25 ribu orang yang tidak meninggal karena Covid-19, dan 96,3 persen dari mereka yang meninggal disebabkan oleh penyakit lain. Menurut klaim itu, data tersebut berasal dari Higher Institute of Health.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Full Fact, klaim tersebut keliru. Laporan sebenarnya yang dirilis oleh Higher Institute of Health pada 20 April 2020 tidak menampilkan proporsi kematian akibat Covid-19. Laporan tersebut menyebut bahwa 96,3% persen pasien positif Covid-19 yang meninggal memiliki penyakit penyerta (komorbid) dan 3,7 persen tanpa komorbiditas. Artinya, Covid-19 menyebabkan kematian pada mereka yang tidak memiliki penyakit penyerta dan mempercepat kematian pada pasien dengan komorbid.
Hingga 16 Juli 2020, Italia mencatatkan kasus kematian akibat Covid-19 sebanyak 34.997 orang. Kematian ini menimpa mereka yang sudah didiagnosa positif Covid-19.

=================

Klaim 6: TBC lebih berbahaya dibanding Covid-19 karena menyebabkan kematian terhadap 300 orang setiap harinya.

Fakta:
WHO memang pernah mengumumkan bahwa jumlah pasien TBC yang meninggal di Indonesia mencapai 300 orang setiap harinya. Namun, WHO menegaskan tingkat kematian akibat Covid-19 tidak bisa diketahui secara pasti karena berbagai faktor. Beberapa laporan memperkirakan tingkat kematian Covid-19 berkisar antara 1,5-20 persen, di mana 20 persen merupakan perkiraan tertinggi yang terjadi di pusat wabah, yakni di Wuhan. Adapun tingkat kematian TBC yang tidak diobati lebih tinggi, yakni 45 persen.
Sedangkan dari sisi penularan penyakit yang ditunjukkan dengan nomor reproduksi kasus, (R0) nilai, infeksi SARS-CoV-2 bernilai (R0) 2,2. Ini berarti setiap orang dengan Covid-19 dapat menularkan infeksi ke 2,2 individu lainnya. Sedangkan nilai R0 untuk TBC di negara dengan jumlah kasus yang rendah berada di bawah 1. Selama ini, tidak pernah pula terjadi wabah TBC. Namun, di negara-negara tertentu yang pernah mencatatkan kasus TBC yang tinggi, nilai R0 untuk TB telah mencapai 4,3 (Cina, 2012) dan 3,55 (India Selatan, 2004-2006).
Akan tetapi, bedanya, TBC bisa dicegah dan dapat diobati dengan rata-rata keberhasilan di tingkat global mencapai 85 persen pada 2018. Pencegahan TBC salah satunya melalui pemberian vaksin BCG pada anak-anak. Sedangkan pada Covid-19, belum ada pengobatan spesifik dan vaksinnya.

=================

Klaim 7: Menggunakan masker memicu keracunan karbon dioksida.

Fakta:
Klaim keliru tentang masker dapat menyebabkan hipoksia atau kekurangan pasokan oksigen di dalam sel dan jaringan tubuh ini telah menyebar di sepuluh negara, yaitu Meksiko, Venezuela, Kolombia, Cili, Argentina, Ekuador, Guatemala, Spanyol, Brasil, dan Prancis. WHO merekomendasikan penggunaan masker selama pandemi Covid-19 untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Penggunaan masker tidak menimbulkan risiko bagi pengguna.
Para pemeriksa fakta di Meksiko menyatakan, “Meskipun benar bahwa masker wajah dapat menghasilkan sensasi yang tidak menyenangkan, jangan khawatir, itu normal. Menggunakan masker wajah tidak akan menyebabkan kekurangan oksigen apa pun. Pada kenyataannya, hipoksia hanya dapat disebabkan oleh merokok, menghirup gas, atau mengekspos diri ke tempat yang tinggi, bukan dengan menggunakan pelindung mulut, masker, atau filter. ”

REFERENSI
https://cekfakta.tempo.co/fakta/888/fakta-atau-hoaks-benarkah-covid-19-diciptakan-untuk-hambat-kebangkitan-umat-islam
https://www.medcom.id/telusur/cek-fakta/4bamd1Zb-cek-fakta-covid-19-diciptakan-untuk-hambat-kebangkitan-umat-islam-cek-fa
https://www.worldometers.info/coronavirus/
https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/mm6915e3.htm
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/01/06103131/update-56385-kasus-covid-19-di-indonesia-tingkat-hunian-rs-60-persen?page=all
https://www.tempo.co/abc/5652/mengapa-angka-kematian-anak-akibat-virus-corona-di-indonesia-tinggi
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/13/172000765/14-dokter-meninggal-dalam-sepekan-kenapa-banyak-nakes-terinfeksi-covid-19-?page=all
https://regional.kontan.co.id/news/kenapa-banyak-dokter-perawat-corona-di-jawa-timur-meninggal-dunia-ini-analisa-idi
https://www.who.int/westernpacific/about/partnerships/donors
https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/5f0528d990e6c/pbb-umumkan-amerika-serikat-resmi-keluar-dari-who-6-juli-2021
https://www.livescience.com/worst-epidemics-and-pandemics-in-history.html
https://fullfact.org/health/sgarbi-coronavirus/
https://www.euronews.com/2020/07/17/covid-19-coronavirus-breakdown-of-deaths-and-infections-worldwide
https://www.who.int/news-room/q-a-detail/tuberculosis-and-the-covid-19-pandemic
https://gaya.tempo.co/read/1342866/hoaks-masker-sebabkan-kekurangan-oksigen-cek-faktanya

About Adi Syafitrah 1653 Articles
Pemeriksa Fakta Mafindo