Pencantuman “Penghayat” justru untuk mengatasi permasalahan pengosongan kolom agama dan efek yang ditimbulkan, salah satunya: anak yang tidak memiliki akta lahir karena pernikahan tidak terdaftar. Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.
======
KATEGORI
Konten yang Salah.
======
SUMBER
http://bit.ly/2TmYuvv http://archive.today/sbtIJ, post oleh akun “Ika Septiana Dewi” (facebook.com/profile.php?id=100013562256223), sudah dibagikan 2.527 kali per tangkapan layar dibuat.
======
NARASI
“VIRALIN BIAR MASYARAKAT TAU..
SUNGGUH MIRIS KEADAAN NEGERI INI..
KTP Pertama dengan agama: Kepercayaan Terhadap Ketuhanan YME sudah terbit
Innalilahi wa Innailaihi roji’uun
Selain itu juga ada kolom agama di kosongkan
Innalilahi wa innailaihi roji’uun
======
PENJELASAN
(1) http://bit.ly/2rhTadC / http://bit.ly/2MxVN7S, First Draft News: “Konten yang Salah
Ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah”.
- Post SUMBER membagikan artikel “Senyum Lebar Warga Bandung Terima E-KTP Pertama dengan Kolom Kepercayaan”, salinan artikel selengkapnya di (3) bagian REFERENSI.
- Post SUMBER menambahkan narasi untuk membangun premis yang tidak sesuai dengan konteks sesungguhnya dari artikel yang disertakan, isi artikel terkait dengan layanan pemerintah ke warga penghayat dipelintir dengan narasi “ada kolom agama di kosongkan”. Pencantuman “Penghayat” justru untuk mengatasi permasalahan pengosongan kolom agama dan efek yang ditimbulkan.
——
(2) Beberapa artikel yang berhubungan:
- detikNews: “Maria mencontohkan salah satu dampak pengosongan kolom agama di KTP yaitu perkawinan tidak terdaftar, akibatnya anak-anak mereka tidak mempunyai akta kelahiran. Tanpa akta kelahiran, maka berdampak sistemik.”, selengkapnya di (1) bagian REFERENSI.
- detikNews: “Menunggu 41 Tahun, Akhirnya Penghayat Masuk Kolom Agama di KTP”, selengkapnya di (2) bagian REFERENSI.
======
REFERENSI
(1) http://bit.ly/2EGS4zh detikNews: “Minggu 07 Mei 2017, 15:34 WIB
Sidang Kolom KTP
Hakim Konstitusi: Aliran Kepercayaan Ada Sebelum Agama Datang
Andi Saputra – detikNews
(foto)
Orang asli Indonesia yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan jauh sebelum agama datang. (edy/detikcom).
Jakarta – Hakim konstitusi Maria Farida Indrati meminta pemerintah untuk serius melihat permasalahan pengosongan kolom agama terhadap Penghayat Kepercayaan. Menurut Maria, permasalahan itu jangan dipandang sebatas urusan administrasi belaka.
“Ya, saya rasa untuk Pemerintah juga. Bahwa kalau itu hanya suatu implementasi dan kemudian harus mengatakan dikosongkan dan sebagainya, tidak akan mungkin ada permohonan seperti ini,” kata Maria sebagaimana dikutip detikcom dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Minggu (7/5/2017).
(foto)
Prof Dr Maria Faria Indrati (ari/detikcom)
“Karena dalam kenyataannya memang aliran kepercayaan itu ada dan itu ada sebelum agama-agama itu datang sehingga kita harus juga melihat bahwa kenyataan itu ada, mereka ada,” sambung guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
Sebab, dengan tidak dituliskannya ‘agama’ mereka ke dalam kolom agama, maka mereka dicap masyarakat sebagai orang yang tidak beragama. Padahal, dalam kenyatannya ‘agama’ itu ada.
“Saya berasal dari Solo, di mana banyak teman-teman saya, saudara saya yang memang mempunyai adat kepercayaan yang seperti itu,” cerita Maria.
Karena dalam kenyataannya memang aliran kepercayaan itu ada dan itu ada sebelum agama-agama itu datang
- Hakim konstitusi Prof Dr Maria Farida Indrati
Menurut Maria, pengosongan kolom agama di KTP bukan semata-mata implementasi norma. Maria mengajak mellihat masalah itu sebagai masalah serius, masalah hak asasi yang harus diterima negara.
“Tapi, kita harus mengatakan bahwa kenyataan itu ada dan para penghayat itu ada, sehingga kita juga harus menerima mereka. Bagaimana kita kemudian menerima mereka sebagai orang yang kemudian mempunyai hak asasi juga untuk diterima dalam negara ini,” papar Maria.
(foto)
Orang asli Indonesia, sebelum kedatangan agama. (edy/detikcom)
“Jadi, jangan kemudian langsung mengatakan ‘Oh, kalau tidak 6 agama itu, kemudian harus dicoret, terus dia masuk yang di mana?’ Karena ini dalam kenyataannya memang terjadi,” sambung Maria.
Maria mencontohkan salah satu dampak pengosongan kolom agama di KTP yaitu perkawinan tidak terdaftar, akibatnya anak-anak mereka tidak mempunyai akta kelahiran. Tanpa akta kelahiran, maka berdampak sistemik.
“Kalau itu hanya implementasi norma, mungkin tidak akan terjadi permohonan ini. Saya rasa, ini kita perlu tidak hanya ke Departemen Agama, tapi juga ke Kementerian Pendidikan, di mana kemudian hal-hal ini menjadi ranahnya kementerian-kementerian yang lain. Saya rasa itu,” ujar Maria dalam sidang yang digelar pada 6 Desember 2016.
Sidang gugatan itu atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Dengan pasal di atas, maka Penghayat Kepercayaan tidak tertulis dalam kolom agama di KTP. Dampaknya, para penggugat mengaku mendapatkan diskriminasi dari negara.
(asp/bag)”.
——
(2) http://bit.ly/2GRnWU3 detikNews: “Senin 25 Februari 2019, 13:31 WIB
Menunggu 41 Tahun, Akhirnya Penghayat Masuk Kolom Agama di KTP
Andi Saputra – detikNews
(foto)
Ilustrasi (dok.detikcom)
Jakarta – Kemendagri mencetak e-KTP dengan membolehkan kolom agama diisi ‘Penghayat’. Hal itu sesuai perintah Mahkamah Konstitusi (MK). Butuh waktu 41 tahun agar tidak ada diskriminasi bagi Penghayat.
Berikut jejak diskriminasi Penghayat di Indonesia sebagaimana dikutip dari keterangan ahli Sekretaris Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Samsul Maarif, yang disampaikan di sidang MK:
Orde Lama
Agama didefinisikan dengan sangat eksklusif, yaitu yang memiliki kitab suci, nabi, dan pengakuan internasional. Definisi ini menjadi penentu siapa yang dilayani (penganut agama ‘resmi’) dan siapa yang tak dilayani (penganut kepercayaan).
1953
Pemerintah Orde Lama membentuk Pengawas Aliran Kepercayaan (Pakem). Departemen Agama melaporkan telah ada 360 organisasi kebatinan/kepercayaan. Terwadahi dalam Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI).
1955
BKKI menyelenggarakan kongres dengan ketua Mr Wongsonegoro, salah satu perumus UUD 1945.
1965
Lahir Penetapan Presiden (yang nantinya menjadi UU PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama) yang ingin melindungi agama dari penodaan oleh aliran kepercayaan.
Setelah peristiwa 30 September 1965, aliran kepercayaan mendapat tekanan besar: mereka dicurigai sebagai bagian dari komunisme.
1970
Nasib penghayat kepercayaan sempat membaik ketika Golkar membentuk Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan (SKK). SKK lalu bertransformasi menjadi Badan Kongres Kepercayaan Kejiwaan Kerohanian Kebatinan Indonesia (BK5I).
1973
Lahir TAP MPR tentang GBHN yang menyatakan agama dan kepercayaan adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama ‘sah’, dan keduanya ‘setara’.
1978
Lahir TAP MPR Nomor 4/1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan.
TAP ini juga mengharuskan adanya kolom agama (yang wajib diisi dengan satu di antara 5 agama) dalam formulir pencatatan sipil.
Momen inilah yang paling berimbas terhadap nasib aliran kepercayaan.
Reformasi
Dengan masuknya klausul-klausul HAM dalam instrumen legal negara, para penganut kepercayaan kembali mendapat pengakuan. Dengan instrumen HAM, para penganut kepercayaan terlindungi dari pemaksaan untuk pindah ke agama ‘resmi’.
2006
UU Administrasi Kependudukan direvisi, tetapi tetap mendiskriminasikan penghayat kepercayaan, yaitu dengan adanya Pasal 61 UU Adminduk 2006: identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama.
2016
Empat penghayat kepercayaan, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, menggugat Pasal 61 ayat 1 dan 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
3 Mei 2017
MK menggelar sidang pembuktian terakhir.
7 November 2017
MK mengabulkan gugatan para warga penghayat kepercayaan. MK mengabulkan gugatan tersebut karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia.
“Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif,” kata Ketua MK Arief Hidayat.
2019
Ditjen Dukcapil mencetak e-KTP dengan kolom agama yang diisi dengan ‘Penghayat’.
“Iya sudah dibagikan kepada penganut kepercayaan,” kata Kepala Dinas Dukcapil Provinsi Sulsel, Sukarniaty Kondokelele.
Berikut daftar lengkap jumlah penganut kepercayaan di Sulsel:
- Kab Selayar 6
- Bulukumba 9
- Bantaeng 44
- Jeneponto 37.237
- Takalar 48
- Gowa 201
- Sinjai 4
- Bone 12
- Maros 31
- Pangkep 6
- Barru 6
- Soppeng 1
- Wajo 9
- Sidrap 1
- Pinrang 69
- Enrekang 9
- Luwu 39
- Tana Toraja 26
- Luwu Utara 23
- Luwu Timur 6
- Toraja Utara 23
- Makassar 12.258
- Pare pare 4
- Palopo 28.
(asp/aan)”.
——
(3) http://bit.ly/2IIVFkh Liputan6(dot)com: “Senyum Lebar Warga Bandung Terima E-KTP Pertama dengan Kolom Kepercayaan
Huyogo Simbolon
21 Feb 2019, 12:03 WIB
(foto)
Bonie menunjukkan e-KTP dengan kolom kepercayaan. (Huyogo Simbolon)
Liputan6.com, Bandung – Bonie Nugraha Permana tersenyum lebar saat menunjukkan Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP barunya. Hal itu lantaran sudah ada kolom keterangan kepercayaan dalam identitas kependudukan penghayat kepercayaan ini.
Pria berusia 46 tahun itu adalah warga Kota Bandung pertama yang memiliki e-KTP dengan kolom penghayat kepercayaan. Sebab, pria yang menjabat sebagai Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung ini merupakan orang pertama yang mengajukan kepercayaan di kolom agama pada e-KTP di Bandung.
Bonie sendiri mengajukan perubahan kolom agama di e-KTP ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) pada Agustus 2018 lalu. Penghayat kepercayaan Akur Cigugur ini mendaftarkan diri bersama istri dan anaknya.
Sempat mengalami kendala teknis, e-KTP baru miliknya akhirnya tercetak pada Februari 2019 ini. Selain e-KTP, Bonie juga menerima Kartu Keluarga (KK) dengan kolom kepercayaan.
“Baru Februari ini lah pertama kalinya Disdukcapil Kota Bandung menerbitkan e-KTP saya dengan kolom keperacayaan,” kata Bonie ditemui di Los Cihapit, Kota Bandung, Rabu, 20 Februari 2019.
Awalnya, Bonie mengaku dihubungi oleh petugas Dukcapil Kota Bandung pada Rabu pagi. Ia diberitahu bahwa e-KTP barunya sudah bisa diambil.
“Saya langsung dikabari oleh orang Disdukcapil bahwa e-KTP dan KK saya, istri dan anak saya sudah jadi. Sebelum ke kantor saya mendatangi Disdukcapil. Tadi penyerahannya langsung diberikan dari kepala seksi identitas penduduk,” katanya.
Warga penghayat lainnya yang mendapatkan e-KTP berisi kolom kepercayaan didapatkan Nanang, warga Kecamatan Mandalajati. Bonie menerangkan, Nanang bersama istri dan anaknya juga sudah mendapat pengakuan resmi dari pemerintah atas keyakinannya sebagai warga negara.
“Yang sudah diterbitkan sampai hari ini jumlahnya enam orang,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu.
Di Bandung Raya, kata Bonie, jumlah pengikut penghayat secara de facto mencapai 150 ribu jiwa. Mulai dari orang tua hingga anak-anak. “Kalau di Jabar mencapai 500-600 ribu,” ucapnya.
Bonie berharap langkah yang ia lakukan dapat diikuti para penghayat kepercayaan yang lain.
Jalan Panjang yang Harus Diperjuangkan
(foto)
Bonie menunjukkan e-KTP dengan kolom penghayat. (Huyogo Simbolon)
Pencantuman kepercayaan dalam e-KTP Bonie tidak lepas setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 silam. MK mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan di Indonesia, terkait Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Upaya Bonie bersama warga penghayat lainnya berhasil, dan MK mengabulkan seluruh tuntutan komunitas penghayat kepercayaan dari seluruh Indonesia.
Salah satu tindak lanjutnya diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sudah bisa menerima KTP elektronik yang mencantumkan kolom kepercayaan.
Sebelum uji materi itu dikabulkan, kolom agama di kartu identitas para penghayat aliran kepercayaan dikosongkan atau diberi tanda strip (-). Bahkan, Bonie terpaksa mendompleng agama lain karena khawatir kesulitan memperoleh pendidikan atau pekerjaan.
“Kalau selama ini saya seolah-olah dapat perlakuan diskriminasi atau penekanan dari negara bahwa jika ingin mengikuti aturan negara, harus mengikuti aturan yang sementara aturan itu hanya memfasilitasi hanya agama besar,” kata Bonie.
Menurut Bonie, perubahan status keyakinan dalam e-KTP dalam dirinya punya makna yang mendalam.
“Kalau sekarang sudah tidak lagi khawatir. Saat ini, saya bersama warga penghayat lain tidak perlu lagi ngumpet-ngumpet, tidak lagi perlu pinjam agama lain. Seratus persen eksistensi saya sebagai warga negara Indonesia dengan keyakinan yang saya percaya,” ujarnya.
Untuk diketahui, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Tradisi yang selama ini menjadi induk warga penghayat, berkoordinasi dengan Dirjen Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Hasilnya, terbuatlah sistem aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) versi 7 yang sudah bisa dioperasikan operator kecamatan di seluruh Indonesia untuk pengisian kepercayaan di kolom agama dalam KTP.
Tak hanya itu, Kemendikbud telah menerbitkan panduan kurikulum dan buku pegangan bagi guru pelajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah juga menjamin hak-hak siswa penghayat kepercayaan untuk memperoleh pelajaran sesuai aliran yang diyakininya. Pemerintah juga akan menyetarakan hak penghayat dalam mengakses pekerjaan sebagai PNS maupun anggota TNI/Polri.
Sementara itu, Kepala Departemen Sipil Politik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Harold Aron mengapresiasi pemerintah dalam menjalankan putusan MK terkait pencantuman kolom penghayat kepercayaan dalam kolom e-KTP.
“Ini perlu diapreasiasi dalam mendorong layanan publik yang tidak diskriminatif terhadap warga minoritas. Dan perlu ditiru oleh pemerintahan lainnya di daerah lain,” ujar Harold saat dihubungi.
Namun, ia berharap pengakuan terhadap penghayat kepercayaan tidak semata berhenti dengan adanya kartu identitas. Institusi atau lembaga lain, kata dia, harus memiliki pandangan yang luas agar hak-hak warga penghayat juga diakui.
“Poin pentingnya adalah bagaiamana pengakuan terhadap hak-hak mereka juga. Harus dilakukan di semua bidang layanan seperti pendidikan dan kesehatan,” tegasnya.”
======
Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/846996168966253/