“Sebaran Hoaks di Tengah Kepanikan Bencana
Hoaks bukan lagi pengelolaan isu politik semata, tapi sudah menyusup sebagai perilaku sosial
Jakarta, era.id – Gempa berkekuatan 6,1 SR yang terjadi kemarin siang tak hanya melahirkan kepanikan, namun juga sejumlah hoaks yang disebar entah apa tujuannya. Hingga Selasa malam (23/1), setidaknya ada tiga kabar bohong yang menyamar sebagai informasi sungguhan.
1. Video Truk dan Mobil Goyang
Di antara deretan hoaks kemarin, video inilah yang pertama kali era.id saksikan. Tak begitu lama setelah gempa terjadi pukul 13.34 WIB. Bukan di grup WhatsApp ataupun media sosial –meski setelahnya juga ditemui di dua platform tersebut, melainkan pada sebuah tayangan televisi swasta.
Dalam tayangan Breaking News yang disajikan, televisi berita itu menayangkan video truk dan mobil goyang itu sebagai footage. Sedangkan menurut kabar yang beredar di WhatsApp dan berbagai platform media sosial, video tersebut diambil di Pelabuhan Merak, Banten saat gempa terjadi.
Berdasar penelusuran yang era.id lakukan, video diketahui diambil di Pelabuhan Gilimanuk. Goyangan terjadi akibat badai yang seliweran di laut sekitar pelabuhan. Di Youtube, video itu telah diunggah sejak tahun lalu, 12 Juni 2017.
2. Foto Jalan Retak
Sebuah foto menampilkan gambar retakan besar melintang di sebuah jalan raya jadi viral. Dalam peredarannya, foto tersebut disertakan dalam pesan berantai berisi kebohongan, menyebut jalan tersebut berada di sebuah tempat di wilayah Banten yang retak akibat gempa.
Belakangan, diketahui bahwa jalan itu berada di jalur Yogyakarta-Wonosari, tepat di persimpangan tiga jalur Pedotan Wetan Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul.
Merespons pesan berantai yang lagi-lagi disebar lewat grup WhatsApp, era.id menghubungi Kepala Pusat Gempa dan Tsunami, Muhamad Riyadi. Dan benar saja, lagi-lagi, hoaks!
Menurut Riyadi, kabar tersebut jelas tak masuk akal. Sebab, gempa susulan biasanya berkekuatan lebih rendah daripada gempa utama. Jadi, bagaimana mungkin gempa susulan berkekuatan lebih besar dari gempa utama yang hanya 6,1 SR?! Tak hanya itu, berbeda dengan beberapa fenomena alam lain, seperti gunung meletus atau gelombang tinggi, gempa bumi merupakan fenomena yang tak dapat diprediksi.
“Sebetulnya, biasa, setelah terjadi gempa, biasanya diikuti gempa susulan yang biasanya tidak akan sebesar gempa utama. Cenderung lebih kecil dan mengecil sebelum mencapai titik stabil lagi,” kata Riyadi kepada era.id.
Hoaks di tengah bencana
Sebaran hoaks di tengah bencana terasa begitu menyebalkan dibanding sebaran hoaks di sela-sela pertarungan politik pemilu. Entah karena sudah terbiasa dibohongi oleh segala hal berbau politik atau memang terlanjur mengenal tabiat politikus yang gemar sebar janji bohong sana-sini. Yang jelas, selipan berita bohong di tengah bencana terasa lebih jahat.
Peneliti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Levy Abubakar menjelaskan, pada era-era awal terbentuknya pola penyebaran informasi palsu, para penyebar hoaks biasanya berkutat pada topik seputar politik.
Penyebaran hoaks biasanya dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik mereka. “Biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kepentingan politik atau kaitan politik,” kata Levy kepada era.id.
Sebagai LSM yang berkepentingan mengontrol arus informasi palsu, Mafindo menemui fakta bahwa hoax di masa kini kerap disebar oleh para profesional yang memiliki kepentingan tertentu.
Berdasar pengkategorian yang dilakukan Mafindo, setidaknya tiga tipikal penyebar hoaks. Pertama, para petarung politik. Kedua, para pelaku bisnis, atau yang ketiga, segelintir orang yang hanya mencari sensasi sebagai ajang unjuk eksistensi.
Menurut Mafindo, dalam konteks bencana alam, para penyebar hoaks biasanya adalah orang-orang tipe ketiga, yakni pencari sensasi dan eksistensi. “Ada dua tipikal oknum yang suka sebar isu atau hoaks di luar konteks politik. Dan para penyebar hoaks bencana ini ya mereka yang memang cuma bikin sensasi dan sukanya bikin masyarakat geger atau heboh,” tuturnya.
Media massa sebagai agen penyebar hoaks
Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan dalam pola sebaran hoaks. Kini, media mainstream yang memiliki kredibilitas pun kerap terlibat sebagai agen penyebar hoaks.
Entah disengaja atau tidak. Yang jelas, sebagaimana teori awal sebaran hoaks, lagi-lagi media massa mainstream yang kerap menyebar hoaks biasanya memiliki keterkaitan kuat dengan kekuasaan. Menurut Levy, sebaran hoaks melalui media mainstream jauh lebih berbahaya, lantaran media mainstream biasanya lebih dipercaya dengan embel-embel kredibilitasnya.
Meski begitu, tak selamanya media mainstream sengaja menyebar hoaks untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks peristiwa atau bencana alam, biasanya media mainstream ikut terjebak sebagai penyebar hoaks karena tuntutan persaingan aktualitas.
“Biasanya kadang-kadang adu cepat antar media saja. Biasanya yang paling sering terjebak dalam kondisi ini adalah media online,” kata Levy.”
Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/589701181362421/